Kamis, 18 Juni 2015

Apa yang Kamu Dapat ?

Sewaktu Waisak kemarin, kami secara spontan tanpa rencana  memutuskan untuk pergi ke Candi Borobudur, di mana di sana sedang ada perayaan puncak Hari Raya Waisak. Momen yang paling ditunggu semua pengunjung pada malam itu tentu saja pelepasan lebih dari 1000 lampion ke angkasa.

Filosofi dari pelepasan 1000 lampion itu adalah sebuah upaya menyampaikan doa dan harapan langsung ke Tuhan . Lampion difungsikan sebagai simbol doa dan harapan yang terbang perlahan-lahan ke atas, berkelip-kelip memancarkan semangat dari setiap orang yang melepas lampion itu, dan pada akhirnya cahaya kelap kelip dari lampion itu hilang di gelapnya langit, menandakan doa dan harapan kita "diterima" oleh Tuhan.

Kami memang tidak berkesempatan melepas langsung lampion itu. Tapi itu bukan masalah besar bagi kami, karena kami memang hanya ingin menikmati dan meresapi makna dan semangat dari acara pelepasan lampion itu.

Kami menikmati dan meresapi lampion itu dengan tiga cara.
Pertama, duduk lesehan. Di tahap ini kami menikmati terbangnya lampion lampion dengan cara yang simpel saja. Duduk sambil melihat lampion lampion terbang dengan anggunnya sambil sesekali berkomentar atau ngobrol.

Kedua, tiduran telentang di rumput. Di tahap inilah kami benar benar bisa merasakan dan meresapi makna dari lepasnya lampion lampion itu. Kami saling menitipkan doa dan harapan kami masing masing ke lampion tersebut. Dengan tiduran menatap langit kami bisa melihat bagaimana lampion lampion itu bisa terbang berkelip kelip sampai pada akhirnya dia hilang. Kami menikmati kombinasi suasana yang sangat indah malam itu, kombinasi udara dingin, kelap kelip lampion, dan aura kebahagiaan dari setiap orang di tempat itu. Kami pun bisa sangat meresapi doa dan harapan kami saat itu.

Ketiga, masuk ke area pelepasan lampion. Di tahap ini kami benar benar berusaha membaur dengan orang orang yang berkesempatan untuk melepas lampion. Kami berjalan kesana kemari berusaha mencari celah supaya bisa ikut nebeng melepas lampion
Kami memang tetap tidak bisa ikut melepas langsung, tapi ada satu kesamaan dari semua orang yang berkesempatan melepas lampion lampion tersebut : bahagia. Bahagia atas doa dan harapan mereka masing masing yang dititipkan di lampion. Bahagia yang terlihat dari raut wajah yang diterangi temaram cahaya lampion.

Lalu apa yang kami dapat dari acara tersebut?

Kami merasakan dan memahami bahwa untuk melihat pemandangan indah tersebut kami harus menempuh perjalanan cukup jauh dan menunggu selama berjam jam sampai akhirnya lampion lampion itu terbang di depan mata kita.
 "kita lewati prosesnya sekarang. mungkin lelah. mungkin berat. Dan jika tiba waktunya untukku dan kamu berucap janji itu, percaya saja, disanalah kita seharusnya berada...."

Dengan melakukan tiga cara menikmati acara lampion itu, kami menyadari bahwa untuk bisa mendapatkan  tujuan secara penuh kami harus melakukan tiga cara itu.. duduk santai sambil melihat dengan mata, melihat dan meresapi prosesnya dengan hati, dan ambil bagian di tengah proses lalu melakukannya dengan tindakan dan kehadiran yang nyata.
" kita tau tujuan kita. kita duduk membicarakan, kita menatap langit merasakan, dan kita bersama sama mewujudkan. Toh semua hal terjadi untuk suatu tujuan. Terus saja berpegang pada apa yang kita yakini"

Dengan begitu banyak raut muka kebahagian malam itu, kami tau ada dua hal penting yang harus bertanggung jawab atas hadirnya kebahagiaan malam itu sekaligus menjaga semangat mereka tetap terjaga di tengah dinginnnya malam dan rasa kantuk yang mungkin sudah menerjang.
Dua hal itu adalah : doa dan harapan. Doa dan harapan bagi mereka yang meresapi makna terbangnya lampion serta harapan bagi mereka yang sekedar ingin menikmati pemandangan indah malam itu. Harapan bahwa perjuangan mereka menunggu semalam suntuk tidak sia sia.
"kita bawa terus dalam doa. Kita pupuk dalam harapan. Kita lakukan apa yang harus kita lakukan. Kita jaga rasa damai ini terus. Tuhan tidak sebercanda itu ketika mempertemukan kita...."


                                                                               -amin- 

P.S : Kenapa gue memakai kata kami di tulisan ini? Karena memang tulisan ini ditujukan untuk kami. Kami yang masih berproses. Dan kalau bahasa gue terlalu halus atau menjurus puitis, silahkan salahkan Payung Teduh yang menemani saya menulis ini. hehe.....